Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Perjuangan Nahdlatul Ulama

sejarah nahdlatul ulama 

Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama


Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah gejala yang unik, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh Dunia Muslim.

Ia adalah sebuah organisasi ulama tradisionalis yang memiliki pengikut yang besar jumlahnya, organisasi non-pemerintah paling besar yang masih bertahan dan mengakar di kalangan bawah.

Ia mewakili, paling tidak, dua puluh juta Muslim, yang meski tidak selalu terdaftar sebagai anggota resmi merasa terikat kepadanya melalui ikatan-ikatan kesetiaan primordial.

Di sebuah negeri yang dilanda kecenderungan-kecenderungan kuat ke arah pemusatan (sentralisasi),

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi paling signifikan yang sangat terdesentralisasi.

Para pengkritiknya mengaitkan desentralisasi yang luar biasa ini dengan ketidakefektifan pengurus pusatnya,

sementara warga Nahdlatul Ulama (NU) sendiri lebih suka menghubungkannya dengan rasa kemandirian yang sangat tinggi yang dimiliki para kyai lokal yang menjadi penyangga moral organisasi ini.

Nahdlatul Ulama (NU) secara organisasi didirikan pada 31 Januari 1926 dalam sebuah rapat di Surabaya yang dihadiri oleh:

KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisyri Syansuri, KH. Ridwan, KH. Nawawi, KH. Doromuntaha (menantu KH. Cholil Bangkalan), dan banyak kiai lainnya.

Rapat itu memutuskan dua hal:

Pertama, mengirim komite ke Makah untuk memperjuangkan hukum-hukum madzhab empat kepada pemerintah baru Kerajaan Saudi yang dipegang oleh kelompok Wahabi; dan

Kedua, mendirikan jamaah bernama NO (Nadlatoel Oelama), dengan komitmen awal menjadi gerakan sosial keagamaan.

Latar belakang terbentuknya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) ini adalah: Gerakan pembaruan di Mesir dan sebagian Timur Tengah lainnya dengan munculnya gagasan Pan-Islamisme

Gerakan tersebut dipelopori Jamaluddin al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia Islam.

Sementara di Turki bangkit gerakan nasionalisme yang kemudian meruntuhkan Khalifah Usmaniyah.

Jika di Mesir dan Turki gerakan pembaruan muncul akibat kesadaran politik atas ketertinggalan mereka dari Barat,

di Arab Saudi tampil gerakan Wahabi yang bergulat dengan persoalan internal umat Islam sendiri,

yaitu reformasi faham tauhid dan konservasi dalam bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh khurafat dan kemusyrikan yang melanda umat Islam.

Sementara di Indonesia tumbuh organisasi sosial kebangsaan dan keagamaan yang bertujuan untuk memajukan kehidupan umat, seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Syarekat Islam (11 November 1912), dan kemudian disusul Muhammadiyah (18 Nopember 1912).

Hal-hal tersebut telah membangkitkan semangat beberapa pemuda Islam Indonesia untuk membentuk organisasi pendidikan dan dakwah, seperti Nahdatul  Wathan (Kebangkitan tanah air), dan Taswirul Afkar (potret pemikiran).

Kedua organisasi dirintis bersama oleh Abdul Wahab Hasbullah dan Mas Mansur organisasi inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya NU.

Pada saat yang sama, tantangan pembaruan yang dibawah oleh Muhammad Abduh di Mesir mempengaruhi ulama Indonesia dalam bentuk Muhammadiyah,

yakni organisasi Islam terbesar kedua pada abad ke-20 di Indonesia.

Penghapusan kekhalifahan di Turki dan kejatuhan Hijaz ke tangan Ibn Sa’ud yang menganut Wahabiyah pada tahun 1924 memicu konflik terbuka dalam masyarakat Muslim Indonesia.

Perubahan-perubahan ini mengganggu sebagian besar ulama Jawa, termasuk Hasbullah.

Dia dan ulama sefaham menyadari serta melakukan usaha-usaha untuk melawan ancaman bid’ah tersebut serta merupakan kebutuhan yang mendesak.

Hasyim As’ari (1871-1947) Kiai dari pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang merupakan ulama Jawa paling disegani-menyetujui permintaan mereka untuk membentuk NU pada tahun 1926 dan dia menjadi ketua pertamanya atau rois akbar.



Peran NU dalam Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan NKRI


Peran dalam memperjuangkan kemerdekaan

Dalam perjalananya Nahdlatul Ulama (NU) memainkan peran yang cukup besar bagi Bangsa Indonesia.

Pada awal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan berbagai upaya untuk memajukan masyarakat Indonesia.

Salah satu upaya tersebut adalah memajukan dalam bidang pendidikan dengan mendirikan banyak madrasah dan pesantren.

Metode dan kurikulum yang digunakan sebagian besar menerapkan kombinasi antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum.

Pada 1938, Nahdlatul Ulama (NU) mendirikan lembaga Ma’arif guna untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan pendidikan yang berafilisasi dengannya.

Dalam bidang ekonomi, Nahdlatul Ulama (NU) mulai mengembangkan perekonomian masyarakat dengan mendirikan koperasi pada tahun 1929 di surabaya seabagi jejek Nahdlatut Tujjar.

Koprasi ini sangat berperan untuk mengorganisir penjualan barang atau barter dalam masyarakat.

Koperasi yang didirikan Nahdlatul Ulama (NU) ini semakin berkembang hingga pada tahun 1937 terbentuklah Syirkah Mu’awanah.

Sejak kedatangan jepang peran Nahdlatul Ulama (NU) semakin diperhitungkan.

Jepang yang kala itu sedang membutuhkan basis massa untuk membantu jepang dalam perang pasifik, akhirnya Jepang melakukan mobilisasi terhadap rakyat pedesaan di Indonesia.

Sementara kaum ulama kiai diberi jabatan resmi agar mau membantu Jepang. Misalnya dengan menjadikan K.H Hasyim Asy’ari sebagai ketua Shumubu (Kepala Kantor Urusan Agama).

NU juga memainkan perannya dalam organisasi Masyumi bentukan Jepang.

Sebagian besar tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dijadikan pengurus, seperti K.H Hasyim Asy’ari sebagai ketua pertama Masyumi, dan K.H Wahab Chasbullah sebagai Penasehat Dewan Pelaksana.

Selain itu puluhan ribu anggota Nahdlatul Ulama (NU) juga dilatih secara mileter dalam PETA (Pembela Tanah Air).

Tokoh Nahdlatul Ulama (NU)juga terlibat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)

dan panitia Persiapan Indonesia (PPKI) sehingga terlibat langsung dalam peruusan pernyataan kemerdekaan.

Kebijakan Jepang tersebut mau tak mau menarik sejulah anggota NU ke dalam ranah politik.

Peran NU masa kemerdekaan


Sebulan pasca kemerdekaan Indonesia, Bangsa Indonesia dihadapkan lagi pada kenyataan untuk mempertahankan kemerdekaan.

Dalam hal itu Nahdlatul Ulama (NU) mengambil sikap guna menghadapi kembalinya penjajah belanda tersebut.

Tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang mengadakan rapat pada 22 Oktober 1945, mengeluarkan ‘Resoluai Jihad’

yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah perang suci dan berjuang melawan tentara sekutu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.

Resolusi ini berarti penolakan terhadap kembalinya kekuatan kolonial dan mengakui kekuasaan suatu pemerintah republik baru sesuai hukum islam.

Resolusi jihad ini juga terbukti dengan penolakan Nahdlatul Ulama (NU) terhadap upaya diplomatik, diantaranya Penandatanganan Persetujuan Linggarjati, Persetujuan Renville dengan Belanda.

Pada Muktamar NU ke XVI di purwokerto pada tahun 1946, Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan untuk masuk partai politik Masyumi yang didirikan sebagai realisasi dari maklumat wakil Presiden No.  X/1945.

Namun pada Muktamar NU ke XIX di Palembang dibawah kepemimpinan A. Wahid Hasyim NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik Nahdlatul Ulama.

Dan tidak lama kemudian terjadilah pemberontakan PPRI yang didalamnya tokoh-tokoh Masyumi terlibat.

Pasca memisahkan diri dengan Masyumi, NU dihadapkan dengan kekurangan tenaga terampil.

Untuk mengatasi hal ini, maka direkrutlah beberapa tokoh yang dianggap mumpuni, seperti H. Jamaluddin Malik, K.H idham Chalid, dan beberapa tokoh lainnya.

Selain itu Nahdlatul Ulama (NU) juga mengambil langkah untuk membentuk sebuah fraksi tersendiri di parlemen yang beranggotakan 8 orang anggota Nahdlatul Ulama (NU).

Selanjutnya Nahdlatul Ulama (NU)  memainkan perannya dalam membentuk kabinet.

Sebagai partai politik baru, NU berusaha memperkuat posisi umat Islam di parlemen dan kabinet.

Akhirnya terbentuklah Liga Muslimin Indonesia yang disukung oleh NU, PERTI dan PSII.

Dalam rangka menghadapi pemilu 1955, NU mengadakan Muktamar Alim Ulama se Indonesia pada 11-15 April 1953 di Medan.

Dalam Muktamar tersebut diputuskan wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mengambil bagian dalam pemilu, baik untuk anggota DPR maupun Konstitusi.

Dengan pendukung yang kuat, akhirnya suara terbanyak diperoleh Nahdlatul Ulama (NU).

Melalui pemilu 1955, NU berhasil mencapai sasaran yang ditetapkan pada 1952 yakni menggerakkan masyarakat tradisional untuk menyatakan aspirasi sosial dan keagamaannya,

sehingga Islam tradisional mampu mendapat tempat ditengah-tengah kehidupan berbangsa.

Partai ini juga berhasil melembagakan peran ulama dalam sebuah negara melalui keberadaanya dalam parlemen dan keberhasilannya menguasai Departemen Agama.

Majelis konstitusi yang berhasil dibentuk dari pemilu 1955 nyatanya belum mampu menghasilkan kostitusi baru untuk Indonesia.

Oleh sebab itu terjadilah ketegangan antar fraksi di pemerintah. Melihat kondisi demikian, Nahdlatul Ulama (NU) kemudian mengadakan sidang Dewan Partai di Cipanas, Bogor 26-28 Maret 1958.

Pada pertemuan tesebut Nahdlatul Ulama (NU) bersepakat untuk menerima UUD 1945 RI sebagai konstitusi dengan pengertian piagam Jakarta menjiwai UUD tersebut.

Keputusan Nahdlatul Ulama (NU) ini disampaikan kepada pemerintah, kemudian pemerintah menyampaikan kepada Majelis Konstitusi pada tanggal 22 April 1959.

Namun, sebagian besar anggota konstituant tidak hadir dalam sidang sehingga tidak bisa menghasilka keputusan.

Dalam situasi yang dianggap gawat inilah lahirlah Dekrit presiden 5 Juli 1959 yang salah satu isinya berbunyi “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 adalah merupakan suatu ragkaian dengan konstitusi tersebut”.

Masa orde lama (1959-1966)


Pada masa ini Nahdlatul Ulama (NU) menerima konsep Demokrasi terpimpin yang diusung oleh Soekarno yang didasarkan pada pertimbangan fiqhiyah,

dalam artian jika terjadi benturan antara dua hal yang sama buruknya, maka dipertimbangkan yang lebih besar bahayanya dan melaksanakan yang paling kecil akibat buruknya.

Selain itu Nahdlatul Ulama (NU) juga berpegang pada dalil yang menyebutkan bahwa jika kemampuan hanya dapat menghasilkan sebagian, maka yang sebagian itu tidak boleh ditingggalkan, harus tetap dilaksanakan.

Pada masa ini pula Nahdlatul Ulama (NU) menuntut pembubaran PKI yang berakhir pada G30/SPKI.

Dimana saat itu keadaan jakarta sedang genting dengan adanya pemberontakan terhadap pemerintah RI oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ditengah situasi yang genting ini, pada tangal 2 Oktober 1965, Nahdlatul Ulama (NU) menyatakan kontra terhadap gerakan revolusi yang dilakukan oleh PKI.

Dan pada 5 Oktober, NU beserta ormas-ormas lainnya menuntut adanya pembubaran PKI dan menyerukan agar umat Islam membantu ABRI dalam menumpas Gerakan 30 September 1965.

Hingga pada akhirnya pemerintah menyetujui pelarangan terhadap partai Komunis di Indonesia.

Masa Orde baru (1966-1998)


Setelah rezim Soekarno beralih kepada rezim Soeharto, terjadilah kebijakan penyederhanaan partai. Tahun 1973, partai-partai politik bergabung dalam dua fusi.

Pertama,partai Islam disatukan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan anggotanya, yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti.

Sedangkan yang lainnya, seperti PNI, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Parkindo, Partai Katolik, dan Partai Murba tergabung dalam wadah Partai Demokrasi Indonesia.

Ketika berada dalam PPP, Nahdlatul Ulama (NU)mendapat kehormatan layaknya di Masyumi.

Semangat persaudaraan dalam tubuh PPP awalnya sangat kuat, namun hal itu tidak berlangsung lama.

Sebab ketika adanya pengajuan RUU perkawinan, K.H Bisri Syansuri sebagai wakil Nahdlatul Ulama (NU) menolak adanya RUU dikarenakan menurut K.H Bisri RUU berisi pasal-pasal yang bertentangan dengan perkawinan dalam Islam.

K.H Bisri Syansuri memiliki wibawa yang sangat besar dan sifatnya cenderung keras, sehingga ketika terjadi pertikaian di tubuh PPP,

ia dapat dengan segera mengendalikan para pimpinan PPP.

Namun, sepeninggal K.H Bisri Syansuri anggota-anggota Nahdlatul Ulama (NU)seringkali mengalami pertikaian dengan anggota lainnya

Pada Muktamar NU ke-26 di Semarang tanggal 6-11 Juni 1979, Nahdlatul Ulama (NU)menyatakan akan kembali menjadi jam’iyah seperti tahun 1926.

Keputusan ini diambil Nahdlatul Ulama (NU) tidak lain karena menganggap pada saat itu Nahdlatul Ulama (NU) sudah memiliki wadah dalam berpolitik,

yakni PPP, sehingga Nahdlatul Ulama (NU)dapat kembali menjadi organisasi sosial keagamaan lagi.

Selain itu perjalanan politik Nahdlatul Ulama (NU) seringkali mengalami kekecewaan membuat organisasi ini semakin terdorong untuk kembali ke Khittah 1926.

Meski memutuskan untuk menjadi organisasi sosial keagamaan, anggota-anggota Nahdlatul Ulama (NU) dapat ikut serta dalam politik secara perseorangan.

Post a Comment for "Sejarah Perjuangan Nahdlatul Ulama"