Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kesultanan Cirebon

Sejarah Awal dan Berdirinya Kesultanan Cirebon


Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon

Pengislaman dan berdirinya kesultanan Cirebon tidak lepas dari pengaruh kesultanan Demak.

Fatahillah atau yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati mendirikan kesultanan Cirebon juga atas nama Raja Demak.

Fatahillah adalah ipar dari sultan Trenggana karena menikahi saudara perempuannya.

Peranannya yang cukup besar, tidak hanya dalam hal agama saja, tetapi dalam bidang militer juga, membuatnya mendapatkan kepercayaan dari sultan Trenggana untuk mengadakan ekspansi ke Jawa Barat.

Setelah berhasil merebut Banten sebagai pangkal tolak pengislaman seluruh pantai utara Jawa Barat sampai di Cirebon.

Sunda Kelapa sebagai bandar Pajajaran berhasil direbut pada 1527 dan sebagai bagian dari Banten diberinya nama Jayakarta.

Kesultanan Cirebon didirikan oleh Fatahillah pada tahun 1524 M. Setelah merintis berdirinya kesultanan Cirebon,

Fatahillah mempercayakan kepada puteranya, pangeran Pasareyan sebagai Sultan Cirebon yang pertama dan melanjutkan perjalanan ke Banten.

Di Banten ia mendirikan pemukiman untuk pengikutnya (Kaum Muslimin).

Sampai pada 1552 menurut sejarah Banten, Fatahillah masih bermukim di Banten. Baru setelah pangeran Pasareyan meninggal pada 1552, Fatahillah memutuskan kembali ke Cirebon.

Kepindahannya itu dimaksudkan untuk lebih memusatkan diri kepada kehidupan rohani dan penyebaran agama Islam. Karena itu, ia menyerahkan Banten kepada puteranya Hasanuddin, yang ia angkat sebagai raja.

Fatahillah kemudian kembali ke Cirebon dan memerintah sampai akhirnya ia wafat pada tahun 1570 M. Sebagai Raja Cirebon, kekuasaan politik dan pemerintahan Fatahillah tidaklah terlalu besar.

Namun sebagai ulama atau wali pengaruhnya cukup besar.

Islam dari Cirebon meluas ke seluruh Tanah Sunda. Penyebaran agama Islam dan meluasnya bahasa dan kesenian Jawa ke Tanah Sunda bagian timur pada hakikatnya merupakan pengaruh Cirebon.

Menurut sumber setempat, pendiri Cirebon adalah Raden Walangsungsang, putera Prabu Siliwangi, penguasa Pajajaran.

Meskipun ia adalah anak sulung, akan tetapi ia tidak bisa menduduki tahta karena menganut agama Islam dari ibunya Ratu Subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa.

Sedangkan waktu ituagama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha.

Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.

Kemudian ia pergi ke Cirebon untuk memperdalam agama Islam. Setelah dirasa cukup, ia bersama saudarinya Rara Santang kemudian menunaikan ibadah haji di Mekkah.

Disana Rara Santang menemukan jodohnya dan menikah sehingga tidak ikut kembali ke Cirebon.

Sepulangnya dari melaksanakan haji, pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir.

Namun dikatakan bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya kosong karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal disana,

akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka Kuwu (Kepala Desa) Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang dan sebagai Pangraksabumi atau wakilnya,

diangkatlah Raden Walangsungsang. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua,

dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, mendirikan Dalem Agung Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.

Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana.

Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

Namun orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah kesultanan adalah Syarif Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung Jati (Wali Songo).

Perkembangan Kesultanan Cirebon


Setelah wafatnya Sunan Gunung Jati, ia digantika cicitnya, Pangeran Ratu atau yang lebih dikenal dengan Panembahan Ratu.

Pada masa pemerintahannya, kerajaan Hindu di Jawa Barat, Pajajaran sudah runtuh. Tetapi keruntuhan Pajajaran bukan dikarenakan serangan dari Cirebon, melainkan dari Banten.

Panembahan Ratu menjalin hubungan  damai dengan Mataram dan penguasa-penguasa setempat di sebelah barat Mataram.

Pada 1390, Panembaan Senapati dari Mataram membantu Panembahan Ratu dan para “pemimpin agama Cirebon” untuk mendirikan dan memperkuat tembok yang mengelilingi kotanya.

Rupanya Mataram hendak menjadikan Cirebon sebagai benteng pertahanannya di bagian barat. Sebaliknya, pengaruh spiritual dan kultural Cirebon terhadap Mataram cukup besar.

Raja-raja Mataram menaruh hormat yang mendalam terhadap Panembahan Ratu sebagai keturunan dari Sunan Gunung Jati. Seperti sultan Cirebon yang duduk diatas sitinggil yang mengilhami

Kesultanan Mataram.Panembahan Ratu mengalami masa pergolakan dengan datangnya Belanda, berdirinya kota Batavia serta usaha-usaha Mataram dan Banten untuk memerangi dan merebutnya kembali. Panembahan Ratu wafat pada 1649.

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Abdul Karim,

karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu.

Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar almahrum ayahnya yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

Sepeninggal Panembahan Girilaya, terjadi perpecahan terhadap Kesultanan Cirebon menjadi beberapa cabang yang masing-masing mempunyai dan mendirikan keraton.

Kekuasaan terbagi diantara ketiga putranya, yaitu Pangeran Martawijya, Pangeran Kartawijaya dan Pangeran Wangsakarta.

Pada waktu terjadi Perang Trunojoyo, ketiga pangeran ini sementara berada di Mataram. Ketiganya berhasil ditangkap oleh Trunojoyo, kemudian dibawa ke daerah Kediri.

Ketiga pangeran ini berhasil lolos kemudian melarikan diri ke Banten yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa.

Ketiga pangeran ini kemudian diperintahkan oleh sultan Ageng Tirtayasa untuk kembali ke Cirebon dan membagi kekuasaan di Cirebon dengan adil, serta dilarang bersahabat dengan Belanda.

Baca Juga :



Adapun kondisi Kesultanan Cirebon dalam bidang politik, sosial dan ekonomi antara lain:

Kondisi Ekonomi


Sebagai sebuah kesultanan yang terletak diwilayah pesisir pulau Jawa, Cirebon mengandalkan perekonomiannya pada perdangangan jalur laut.

Dimana terletak Bandar-bandar dagang yang berfungsi sebagai tempat singgah para pedagang dari luar Cirebon. Juga memiliki fungsi sebagai tempat jual beli barang dagangan.

Selain itu, Hasil padi yang sangat besar yang dihasilkan oleh daratan rendah aluvial yang subur sepanjang pantai utara Cirebon dan Kendal.

Selain perdagangan dan pelayaran. Perekonomian Cirebon juga ditunjang oleh kegiatan masyarakatnya yang menjadi nelayan.

Cirebon juga dikenal sebagai kota udang, artinya Cirebon juga memiliki satu komoditi dagang utama yaitu terasi, petis dan juga garam.

Dalam kehidupan ekonomi juga masih ada peran dari orang asing. Orang asing tersebut menjadi syahbandar atau yang mengantur tentang ekspor impor perdagangan.

Cirebon yang menjadi syahbandarnya yaitu orang-orang Belanda. Alasan mengapa syahbandar diambil dari orang-orang asing, karena orang-orang asing dianggap lebih mengetahui tentang cara-cara perdagangan.

Dengan kedatangan Belanda keadaan ekonomi di Cirebon dikuasai penuh oleh VOC. Dengan diadakannya perjanjian antara Belanda dengan Cirebon 30 April 1981, Cirebon selalu memelihara kepercayaan terhadap Belanda.

Akan tetapi, seluruh komoditi perdagangan di Cirebon, dikuasai Belanda. Hal ini hanya akan menguntungkan pihak Belanda dan merugikan Cirebon.

Belanda menerapkan monopoli perdagangan dan pertanian, salah satu contohnya yaitu kebijakan menanam 10 pohon kopi tiap kepala keluarga di Priangan Timur. Juga dengan surat perintah tanggal 1 Maret 1729 M.

Kondisi Sosial dan Budaya


Kondisi Sosial Kerajaan Cirebon Perkembangan Cirebon tidak lepas dari pelabuhan, karena pada mulanya Cirebon memang sebuah bandar pelabuhan.

Maka dari sini tidak mengherankan juga kondisi sosial di Kerajaan Cirebon juga terdiri dari beberapa golongan. Diantara golongan yang ada antara lain, golongan raja beserta keluarganya, golongan elite, golongan non elite, dan golongan budak.

Cirebon juga dikenal memiliki keberagaman budaya yang kuat bernuansa religi, diantaranya Tarling, Tari Topeng, Berok, Rudat, Mapag Sri dan Sintren.

Keraton para keturunan Sunan Gunung Jati tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan pengaruh pemerintah Hindia Belanda.

Kesultanan itu bahkan masih dipertahankan sampai sekarang. Meskipun tidak memiliki pemerintahan administratif, mereka tetap meneruskan tradisi Kesultanan Cirebon.

Misalnya, melaksanakan Panjang Jimat (peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw) dan memelihara makam leluhurnya Sunan Gunung Jati.

Kondisi Politik


Perkembangan politik yang terjadi pada Cirebon berawal dari hubungan politiknya dengan Demak. Fatahillah merupakan orang yang diberi kepercayaan oleh Sultan Trenggana untuk mengislamkan daerah Jawa Barat.

Sealin itu, kedua sulatn dari masing-masing kesultanan menikahkan putra-putri mereka.

Kesultanan Cirebon mengadakan hubungan politik dengan Kesultanan Mataram dan Banten dengan baik.

Kesultanan Mataram membantu Cirebon untuk mendirikan dan memperkuat tembok untuk mengelilingi kotanya.

Para sultan Mataram yang sangat menghormati para sultan dari Cirebon. Begitu juga dengan hubungan dengan Kesultanan Banten.

Peran Kesultanan Cirebon dalam penyebaran Islam


Penyebaran agama Islam pada mulanya dilakukan oleh Pangeran Cakrabuwana selaku pendiri pertama Cirebon terhadap masyarakat Cirebon.

Selanjutnya dilanjutkan oleh Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati sebagai ulama atau wali pengaruhnya cukup besar.

Penyebaran agama Islam dan meluasnya bahasa dan kesenian Jawa ke Tanah Sunda bagian timur pada hakikatnya merupakan pengaruh dari Cirebon.

Makam Sunan Gunung Jati menjadi tempat ziarah yang paling ramai dikunjungi orang di Jawa Barat.

Selain itu, Syair-syair keagamaan yang bercorak dsn berisi ajaran-ajaran mistik Islam banyak ditulis. Syair-syair itu disebut Suluk.

Selain itu, dibangunlah Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang mempunyai sembilan pintu, melambangkan Wali Sanga penyebar agama Islam.

Proses penyebaran Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui daerah Cirebon dibawah pimpinan seorang raja dan ulama yaitu, Sunan Gunung Jati.

karena dua kekuasaan yang diperankannya, yaitu kekuasaan politik dan agama, maka ia mendapat gelar Ratu Pandita.

Sunan Gunung Jati yang tampil sebagai pemimpin agama dan politik, telah mengubah sistem dan struktur kenegaraan pada paham kekuasaan religius.

Keruntuhan Kesultanan Cirebon


Pada tahun 1681 Kesultanan Cirebon dipaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda. Pada taun 1788, Cirebon bangkit melawan Belanda di bawah pimpinan Mirza bersama dengan para ulama.

Perlawanan ini berhasil dipatahkan oleh Belanda. Kemudian Cirebon bangkit kembali melawan Belanda pada tahun 1793,1796 dan 1802.

Semua perlawanan ini berhasil dipatahkan oleh Belanda. Kedaulatan Cirebon jatuh ketangan Belanda.

Meskipun begitu, keraton-keraton para keturunan Sunan Gunung Jati masih tetap dipertahankan sampai abad XX dengan tunjangan dari pemerintah Hindia Belanda.

Baca Juga :

Post a Comment for "Kesultanan Cirebon"