Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Kerajaan Ternate dan Tidore

Kerajaan Ternate


sejarah kerajaan ternate dan tidore

Sekitar abad ke-13 di Maluku sudah muncul beberapa kolano (kerajaan) yang memainkan peranan penting dalam bidang perdagangan.

Di Maluku ada empat kolano yang terkenal, yaitu ; Ternate, Tidore, Makian dan Moti.

Sesudah perjanjian Moti pada abad ke-14, Kolano Makian pindah ke Bacan dan Kolano Moti pindah ke Jilolo.

Para penguasa “Moluku Kie Raha” adalah keturunan Ja’far Shadiq, ditengarai adalah cucu Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu.

Ja’far Shadiq sampai di Maluku pada hari Senin 6 Muharram tahun 643 H/1250 Masehi dan kemudian menikah dengan seorang putri “Moluku Kie Raha” yang bernama Nur Sifa.

Dari pernikahan itu mereka dikaruniai delapan orang anak, empat putra dan empat putri. Anak-anak mereka itu adalah sebagai berikut :


  1. Cita Dewi ( Perempuan )
  2. Kaicil Buka (laki-laki)
  3. Sadarnawi (perempuan)
  4. Darajati (laki-laki)
  5. Saharnawi ( perempuan)
  6. Sahajati (laki-laki)
  7. Sagarnawi (perempuan)
  8. Masyhur Malamo ( laki-laki)

Empat putra Ja’far Shadiq inilah yang menjadi raja di empat kalano ( kerajaan) yang ada di kawasan Maluku. Mereka itu adalah sebagai berikut :


  1. Kaicil Buka adalah raja di Bacan
  2. Darajati adalah raja di Jailolo
  3. Sahajati adalah raja Tidore
  4. Masyhur Malamo adalah raja di Ternate

Dalam sejarah Maluku, Kolano Ternate dan Kolano Tidore yang banyak mendominasi sejarah kawasan ini.

Ternate dan Tidore sering terlibat pertikaian dalam perebutan hegemoni di kawasan Maluku. Jailolo dan Bacan kurang memainkan peranan penting dalam sejarah “Moluku Kie Raha”.

Mereka selalu tunduk pada Ternate atau Tidore.

Pada akhir abad ke-16 kerajaan Ternate meluaskan kekuasaannya ke daerah Maluku Tengah yaitu di Hoamooal (P.Seram),

dan di pulau-pulau kecil di sekitarnya (Buru, Manipang, serta Kelang dan Boanou) dimana motif yang sesungguhnya dalam exspansi ini tidak jelas,

tetapi ada kemungkinan karena faktor perdagangan cengkeh, dan adanya persaingan dengn bangsa-bangsa Portugis yang menguasai daerah Maluku.

Dengan bertambah maju dan berkembangnya akan penambahan rempah-rempah seperti, pala, cengkeh, lada maka menyebabkan semakin tingginya minat bangsa asing untuk mmeraih dan merangkul seluruh kepulauan Maluku.

Sehingga tidak asing lagi kalau kerajaan Ternate serta seluruh kerajaan yang ada di Maluku mengadakan perlawanan dengan peperangan,

yang mana dalam usaha tersebut tak krtinggalan pula peran ulama’ yang dengan gigihnya merintangi dan melawan penjajah yang hendak menguasai wilayah serta perekonomian negerinya.

Adapun tata susunan raja—raja yang berkuasa di kerajaan Ternate yaitu :

  1. Zainal Abidin sebagai Sultan Ternate I
  2. Sairullah sebagai Sulatan Ternate I.I
  3. Khairun sebagai Sultan Ternate III.
  4. Babullah sebagai Sultan Ternate IV.

Kerajaan Ternate menuggunakan sistem jual beli barang yang masih melanjutkan atau meneruskan tradisi lama,

yakni “barter” yaitu tukar menukar barang dengan barang lain yang diperlukan antara penjual dengan pembeli, ada pula yang menggunakan alat penukar konvensional yang lazim disebut uang.

Perkembangan ekonomi Ternate berjalan dengan pesat.

Hal ini terlihat dengan banyaknya masyarakat yang menanam rempah-rempah, yang terkenal merupakan tanaman yang sangat mahal harganya dan banyak peminatnya,

bukan saja dikalangan Indonesia sendiri, tetapi  juga bangsa-bangsa asing yang datang ke Maluku.

Kerajaan Ternate seperti halnya kerajaan Islam yang lain juga telah menggenal politik dalam menjalankan pemerintahan.

Dalam pergantian kekuassaan raja masih berlaku sistem turun temurun dan ini terbukti ketika Sultan yang pertama (Zainal Abidin) wafat, sebagai gantinya adalah putranya yang bernama Sirullah.

Pada masa pemerintahan raja-raja Ternate Telah beberapa kali Terjadi perjanjian diantaranya adalah : Perjanjian De Mesquita, seorang kristen yang dilakukan oleh Sultan Khairun.

Beliau diundang dalam acara jamuan besar di benteng Portugis untuk mrnghormati perjanjian yang teelah mereka lakukan,

akan tetapi di luar dugaan terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan yaitu Sultan Khairun ditikam oleh pengawal pribadi De Mesquita dan akhirnya saat itu juga Sultan meninggal. 

Dengan peristiwa tersebut, Babullah sebagai putranya menjjadi marah dan seluruh daerah Ternate menjadii guncang baru kemudian pejabat atau orang-orang besar melantik Babullah menjadi Sultan pengganti ayahnya.

Pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami,

teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate.

Pada masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506.

Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate.

Portugal datang bukan semata–mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah–rempah, pala dan cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate.

Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali.

Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya,

Pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.

Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugal.

Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugal.

Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan.

Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa, India.

Di sana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Khairun (1534-1570).

Baca Juga :



Perlakuan Portugal terhadap saudara–saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku.

Tindak–tanduk bangsa Barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun.

Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan Malaka pada tahun 1511.

Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.
Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal.

Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu–sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate.

Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada Sultan Khairun.

Secara licik gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.

Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur.

Setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya pada tahun 1575.

Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di bagian selatan.

Sultan Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu.

Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme Barat.

Sepeninggal Sultan Baabullah, Ternate mulai melemah, Kerajaan Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal pada tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate.

Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal, bahkan Sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.

Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda pada tahun 1603.

Ternate akhirnya berhasil menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate.

ada tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol.

Pada tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.

Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate.

Diantaranya adalah Pangeran Hidayat (15??-1624), raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda.

Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah–rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.

Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada Ternate semakin kuat.

Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan. Sikap Belanda yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua kalangan.

Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku salah satunya adalah pada tahun 1635,

demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar–besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten yang menyebabkan rakyat mengobarkan perlawanan.

Pada tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon, Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate, Hitu dan Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah.

Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya pada tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.


Kerajaan Tidore


Kesultanan Tidore adalah bersaudara dengan Kesultanan Ternate. Berdasarkan silsilah Kerajaan Maluku Utara, raja Tidore yang pertama,

Sahajat adalah saudara Mansyur Malamo, raja Terate yang pertama. Mereka adalah Ja’far Shadiq.

Raja Ciriliyati adalah Raja Tidore yang pertama masuk Islam. Ia masuk Islam setelah mendapatkan seruan dakwah dari seorang mubaligh Arab yang bernama Syekh Mansyhur.

Setelah masuk Islam, Raja Ciriliyati diberi gelar Sultan Jamaluddin ( 1495-1512).

Setelah Sultan Jamaluddin wafat, jabatannya sebagai Sultan Tidore digantikan oleh putera sulungnya, yaitu Sultan Mansyur.

Pada tahun 1521 Sultan Mansyur menerima kedatangan Spanyol di Tidore. Spanyol masuk ke Tidore melalui Filipina. Allasan Sultan Mansyur menerima kedatangan Spanyol karena ia kalah bersaing dalam membangun hubungan dengan Portugis.

Kesultanan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris.

Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa.

Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugal, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat.

Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram, sebagian Halmahera, Raja Ampat, Kai, dan sebagian Papua.

Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Sultan Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali Kepulauan Maluku.

Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam.

Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari Portugal melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an.

Kesultanan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa.

Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda.

Kemunduran Kesultanan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan Kesultanan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing (Spanyol dan Portugis) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut.

Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah diadu Domba oleh Portugal dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugal dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku.

Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.

Baca Juga :

Post a Comment for "Sejarah Kerajaan Ternate dan Tidore"